SEJARAH CHIKUNG

Pada Dinasti Liang (502-557 A.D.), kaisar mengundang seorang biksu Buddha bernama Da Mo (Bodhidharma), yang sebelumnya menjadi Pangeran India untuk menyebarkan ajaran Buddha di Tiongkok. Da Mo adalah penerus ke-28 sejak Siddharta Gautama. Namun, kaisar tidak menyukai konsep ajaran Da Mo yang lebih menekankan olah batin daripada sekedar melakukan perbuatan baik untuk mencapai pencerahan. Da Mo lantas memutuskan untuk mundur ke Kuil Shaolin.

Di sana, ia melihat para pendeta tampak lemah dan sakit-sakitan karena hanya terfokus pada kehidupan spiritual mereka dan mengabaikan kesehatan fisik.  Da Mo kemudian merenung dan mencari jalan keluar akan masalah itu. Dia muncul setelah sembilan tahun pengasingan dan menulis dua karya klasik, yaitu: “Yi Jin Jing” (Yi Gin Ching) dan “Xi Sui Jing” (Shii Soei Ching) atau dikenal selanjutnya sebagai metode ‘cuci sumsum tulang’. Yi Jin Jing mengajarkan para pendeta bagaimana memperoleh kesehatan dan mengubah kondisi fisik mereka dari lemah menjadi kuat. Dan, Xi Sui Jing menjelaskan bagaimana menggunakan ‘chi’ untuk membersihkan sumsum tulang, memperlancar darah dan memperkuat sistem kekebalan tubuh, serta bagaimana memberi energi ke otak dan mencapai pencerahan. Karena metode cuci sumsum lebih sulit untuk dipahami dan dipraktikkan, pelatihannya diturunkan secara diam-diam kepada beberapa murid di setiap generasi.

Perpaduan kungfu dan latihan mengolah chi bermanfaat untuk meremajakan sumsum tulang disamping pengembangan kemampuan kungfu. Setelah para pendeta mempraktikkan, mereka menemukan bahwa petunjuk Da Mo tidak saja meningkatkan kesehatan. Mereka pun merasa kekuatan mereka bertambah. Ketika pelatihan metode cuci sumsum tulang dengan pengolahan chi ini diintegrasikan dalam bentuk seni bela diri, ternyata juga meningkatkan efektivitas teknik mereka. Pengertian ‘cuci sumsum’ adalah membuang sel-sel yang rusak dan memacu sumsum melakukan regenerasi atau memperbarui sel-sel tubuh secara alami.

Bodhidharma, Ukiyo-e woodblock print by Tsukioka Yoshitoshi, 1887.
Bodhidharma, Ukiyo-e woodblock print by Tsukioka Yoshitoshi, 1887.

Karena Negeri Tiongkok pada masa itu masih berada dibawah kekaisaran, metode tersebut terbatas di kalangan bangsawan dan keluarga istana. Setelah kurun waktu lama saat kekuasaan kaisar berakhir pada abad dua puluhan, sistem feodal akhirnya berlalu. Modernisme dari dunia barat membawa pengaruh bagi dunia medis di Tiongkok. Komunitas medis di China mulai menguji metode itu melalui metodologi keilmuan. Akan tetapi, penerapan metode cuci sumsum tulang yang disebut qigong atau chikung ini mengalami periode buruk di masa komunisme. Segala hal yang bernuansa budaya atau tradisi dilarang untuk dipraktikkan termasuk chikung karena dianggap pseudoscience atau praktik yang tidak ilmiah dan berdasar hanya pada keyakinan.

Meskipun demikian, uji coba terhadap chikung menghasilkan pengakuan yang positif dan pengujiannya diawasi dengan ketat guna membuktikan bahwa metode cuci sumsum tulang mampu menyembuhkan berbagai keluhan pria tanpa efek samping yang berarti. Metode itu selanjutnya menjadi populer untuk menyembuhkan banyak lelaki yang memiliki keluhan masalah seksual dari yang mengalami ejakulasi dini hingga penderita pembengkakan prostat. Mereka berhasil disembuhkan dalam waktu cepat tanpa menjalani operasi.